Minggu, 29 Desember 2013

Garam dan Telaga


Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pag, datanglah seorang anak muda yang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang masam. Tamu itu tampak seperti orang yang tidak bahagia.
Tanpa membuang waktu , anak muda itu menceritakan semua masalahnya. Orang tua yang bijak itu mendengarkan dengan saksama, Ia lal mengambil segenggam garam dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba minum ini dan katakab rasanya”, ujar orang tua itu.
“Pahit, pahit sekali”, jawab anak mudaitu sambil meludah ke samping.
Pak tua itu tersenyum, lalu Ia mengajak tamunya ini berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu bejalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.
Orang tua itu lalu kembali menaburkan segenggam garam ke telaga itu. Dengan sepotong kayu, diaduknya permukaan air hingga tercipta riak air yang mengusik ketenangan telaga itu.
“Coba ambil air telaga ini, dan minumlah!”
Saat pemuda itu selesai meneguk airitu, orang tua itu kembali bertanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar”, sahut pemuda itu.
“Apakah kamu merasakan garam dalam air itu?” tanya orang tua itu lagi
“Tidak”, jawab si anak muda.
Dengan bijak orang tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehiduan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.”
“Tapi pahit yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan, tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan pahit dan kegagalan dalam hidup, hanya akan ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Orang itu melanjutkan nasihatnya, “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalh tempat kau menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu, dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar pada hari itu. Dan orang tua bijak itu kembali menyimpan “Segenggam garam”, untuk anak muda lain yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan Saran aku tunggu... :)