Minggu, 02 Desember 2012

Cerpen : "Waktu"


Mama dan Papa sekarang sangat sibuk. Mereka jarang ada waktu untuk aku. Memang benar apa yang aku inginkan semuanya terpenuhi saat itu juga. Tapi apa artinya semua itu kalau kasih sayang mereka nggak ada buat aku? Apa artinya? Mama, Papa, aku cuman ingin kasih sayang dari kalian. Bukan uang, handphone, laptop, atau apapun itu, tapi kasih sayang dan perhatian kalian. 
Aku dihantar sekolah dengan mobil oleh sopir pribadi. Saat aku berangkat sekolah, Papa dan Mama udah nggak ada. Mereka udah kerja. Aku makan sendirian dan pembantuku yang memasaknya. Meja makan yang sangat besar ini kosong, dan cuman ada aku yang ngisi itu. Aku anak tunggal, seharusnya perhatian mereka ke aku besar. Tapi kenapa justru seperti ini?
Setelah Papa dan Mama pulang, mereka langsung tidur. Ngobrol sama aku palingan cuman tanya apa aku sudah makan, apa aku sudah mandi dan belajar. Pertanyaan itu pun dilontarkan sambil lalu dan menuju ke kamar mereka. Padahal aku nungguin mereka sampai jam sebelas malem dan pengin ngobrol sama mereka. Aku rela nahan ngantuk biar bisa ngobrol. Yaa, cuman untuk ngobrol sama Mama Papa aku. Aku masih kecil, masih SD, tapi mereka udah nggak peduli sama aku. Apa mereka pikir kalau semua yang aku butuhin tercukupi dan bahkan sisa, itu udah cukup? Mereka salah.
Setiap hari aku curi waktu mereka agar bisa ngobrol dan main sama aku. Tapi mereka justru lebih pentingin main hp BlackBerry mereka dari pada aku. Mereka bisa tertawa waktu main facebook. Dan waktu aku coba bercanda sama mereka, mereka justru marahin aku. Apa iya facebook lebih penting dari pada aku, anak kandung mereka? Apa sih harganya facebook dari pada anak kandung sendiri? Sampai mereka bisa telantarkan aku seperti ini..
Aku coba untuk menabungkan uang saku aku. Aku sampai kelaparan dan kadang haus disekolah, tapi aku rela. Dan aku mulai sering bawa bekal sendiri. Aku nabung mulai dari seratus ribu, sampai terkumpul satu juta. Aku lalu tanya sama Mama dan Papa.
"Ma, Pa tunggu. Berapa gaji Mama dan Papa sehari?"
"Sekitar satu juta. Kenapa?"
"Aku punya uang satu juta. Aku mau bdli waktu kalian sehari aja, yaitu besok minggu. Mama dan Papa bisa kan?"
"Ada-ada aja kamu. Nggak bisa, besok Mama dan Papa ke luar kota. Uang itu kamu simpan aja untuk besok waktu Mama Papa ke luar kota. Untuk jaga-jaga, nanti Papa tambah.."
"Tapi Pa.."
Belum selesai, Papa dan Mamanya masuk ke kamar.
"Aku cuman pengin bareng sama kalian satu jam aja nggak masalah. Kalau nggak bisa setengah jam juga nggak papa. Kalau masih nggak bisa, sepuluh menit aku rela. Dan kalau masih nggak bisa juga, lima menit aku mau. Aku cuman mau itu aja kok." Batin si anak itu sambil menangis.
Hari minggu datang dan Papa Mamanya sudah berangkat ke luar kota. Mereka tidak pamit dan mengabari anaknya kalau mau berangkat. Si anak pun jadi sedih. Ia masuk dan menulis kata-kata di buku hariannya. Setiap hari ia melakukan itu. Satu minggu berlalu, dan Papa Mamanya belum juga kembali. Anak itu memutuskan untuk pergi dari rumah dan bermain sendiri dengan membawa uang yang ia punya.
Tapi saat ia berjalan keluar rumah, ada preman yang membututinya. Ia namun tidak sadar akan hal itu. Saat di tempat sepi, ke dua preman itu menangkapnya, merampas uangnya, dan lalu membunuh anak kecil yang masih sangat polos itu. Akhirnya, pembatu laki-lakinya tahu, dan lapor kepada satpam yang ada dirumah itu dan menangkap kedua preman itu dengan bantuan lima satpam dirumah itu.
Pembantu wanita dirumah itu lalu menelpon Papa dan Mama dari anak itu. Sontak Papa dan Mamanya kaget dan langsung pulang. Saat mereka pulang, mereka menangis karena anak tunggalnya sudah tidak ada. Mereka lalu menguburkan anaknya itu.
Setelah sehari berlalu, Papa Mama mencoba masuk ke kamar anak mereka yang sudah pergi dan merapikan kamarnya. Mereka melihat buku harian anaknya, dan ada foto keluarga mereka. Mereka melihat satu per satu halaman dari buku itu.

"Hari senin Mama dan Papa belum ada disini. Aku kangen Mama Papa yang dulu. Yang sering sama aku waktu kita masih hidup di keluarga yang sederhana dan belum mewah seperti ini.."
"Sekarang udah selasa. Mama dan Papa dimana? Kok belum pulang juga? Aku semakin kangen sama kalian. Hari ini aku nggak makan seharian karena kalian nggak ada disini.."
"Nggak terasa udah rabu. Mama dan Papa masih belum pulang juga. Aku jadi sering sedih dan nangis kalau ingat kebersamaan kita dulu. Walaupun kita saat itu sederhana, tapi kalian selalu ada buat aku. Nggak seperti sekarang.."
"Huhh. Udah hari kamis. Tabunganku udah banyak banget. Aku ingin beli waktu kalian, sejam aja dengan uang lima juta ku ini. Apa kalian mau setelah kembali nanti?"
"Hari ini aku sholat jum'at sendiri, nggak sama Papa. Sesaat aku ngrasa Papa juga sholat sama aku. Aku malah sempet mikir kalau Papa dan Mama nyolatin aku. Ada apa ya Ma, Pa? Perasaanku nggak enak.."
"Ma, Pa, sekarang udah sabtu. Dulu biasanya kita main ke rumah nenek, tapi sekarang udah nggak pernah. Aku jadi bosen. Besok aku putuskan aku mau main keluar rumah biar nggak bosen lagi. Hehehe, semoga besok Papa sama Mama pulang.."
"Dan sekarang udah minggu Ma, Pa. Aku putusin untuk pergi. Semoga Mama dan Papa cepet pulang dan bisa lihat kondisi aku. Aku pergi dulu Ma, Pa.."

Setelah membaca semua tulisan anaknya, mereka tersadar kalau anak mereka sudah bersiap pergi untuk hari itu. Tidak hanya untuk sementara, tapi untuk selamanya. Mereka sadar kalau mereka tidak bisa menjaga anak mereka, maka Tuhan mengambilnya agar disana Tuhan yang merawatnya. Mereka menangis terseduh dengan perasaan yang sangat hampa. Anak mereka satu-satunya pergi untuk selamanya hanya karena hal yang sepele, yaitu waktu. Waktu yang tidak pernah mereka berikan untuk anaknya, waktu yang hanya ada untuk bekerja, dan waktu yang hanya ada untuk istirahat setelah itu. Apa kalian ingin anak kalian nanti seperti kisah diatas? Jangan sampai! Anak itu anugerah, sesulit apapun hidup kalian, akan lebih terasa bahagia jika kalian memiliki seorang anak. Orang kaya yang hidup tanpa anak itu hampa. Ini masalah masa depan kalian yang harus dipikirkan sejak dini. Hidup itu mudah, yang sulit hanyalah cara kita untuk menyesuaikan diri dan memikirkannya. Hidup itu sederhana. Bila kalian sederhana dan merasa bahagia, itulah hidup.

Karya:
Hilman Farizan (Imo)