Sebulan lalu, aku telah masuk ke sebuah SMU di
kawasan Shibuya. Aku berhasil masuk ke sini karena ayahku adalah seorang guru
Matematika di sini. Harasawa, begitulah cara mereka memanggilku. Aku tak tau
apa yang seharusnya aku rasakan. Sedih, senang atau bahagia? Sedih karena aku
ditindas ayah, senang karena aku masuk ke SMU terkenal atau bahagia karena aku
dikenal banyak orang? Aku tak tau apa yang seharusnya aku rasakan sekarang.
Banyak temanku yang beranggapan aku egois dan sebagainya. Karena setiap mereka
mengobrol, aku hanya diam terpaku melihat layar handphoneku yang berkedip.
Apakah aku masih hidup dengan hati yang tak memiliki perasaan ini? Aku dapat
memastikannya hanya dengan memotong nadi. Mengerikan? Tak terlalu bagiku. Ini
hanya rasa sakit sesaat. Tiga hari kemudian, luka pasti telah menutup dan rasa
sakitnya telah menghilang. Berbeda dengan rasa sakit hatiku pada ayah. Aku
dilarang bergaul dengan teman sebayaku. Manusia
adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan, itu mungkin kata orang lain.
Tapi bagi ayahku itu hanyalah angin lalu yang tak berarti. Aku berusaha
berkomunikasi dengan orang lain lewat e-mail. Tapi, itu percuma. Tak akan ada
yang menyadari keberadaanku. Kotobuki Sayo, seorang reserse dari klub Shibuya yang
satu-satunya berusaha berteman denganku. Aku tak bisa berteman dengannya.
Ayahku terus menguasaiku dari kejauhan. Seiring berjalannya waktu, hatiku mulai
mengeras dan tak bisa merasakan apa-apa.
Aku tak pernah mau mengikuti
pelajaran olahraga. Walaupun olahraga adalah materi pelajaran sekolah.
Alasannya? Mudah saja, karena terlalu banyak menggores tanganku dengan cutter, lukanya pun menumpuk di
pergelangantanganku. Aku tak mau tanganku ini jadi pusat perhatian publik.
Tapi, hal itu tak berlangsung lama. Dua hari lalu, saat olahraga aku beralasan
meriang pada guruku. Kotobuki mengantarku ke UKS. Awalnya, aku menolak. Tapi,
demi tak ikut olahraga, aku hanya dapat menjalaninya. Saat Kotobuki keluar UKS, aku berusaha memotong nadiku
lagi. Tapi, Kotobuki mengetahuinya. Dia mendorongku dan berusaha mengambil cutter di tanganku. Kotobuki menangis,
aku sudah berkata padanya agar membiarkan ku sendiri di sana. Akhirnya kau
keluar. Aku merasa Kotobuki adalah orang rendahan yang mau mencucurkan air mata
di hadapanku. Aku dihantui perasaan takut akan kehidupanku. Perasaan takutku mulai menampakkan wujud aslinya. Ayah
mengetahui diriku yang tak mengikuti pelajaran olahraga. Ayah menamparku hingga
pipiku memar. Esoknya, anak lainnya menghampiriku. Seseorang diantara mereka
mencengkeram tanganku hingga lukaku terbuka kembali. Aku berlari, Kotobuki
mengikutiku dari belakang. Sesampainya di taman, Kotobuki membalut pergelangan
tanganku dengan jimat kainnya. Dia bilang, jimat itu akan membuatku tak akan
potong nadi lagi. Hatiku mulai terbuka, aku berkata padanya agar tak
mencucurkan air mata indahnya untukku.
Malamnya, ayah menamparku lagi. Dia bilang,
aku adalah anak sial yang membuat hidupnya kacau. Dia menendangku dan membuang
seluruh buku dan pakaianku keluar rumah. Tak ada yang membelaku, ibuku hanya
melihat dari kejauhan. Handphone yang selama ini menjadi komunikasiku dibanting
begitu saja kelantai. Aku hanya dapat memandangnya dengan penuh kekecewaan.
Setelah semua marahnya terlampiaskan, dia pergi meninggalkanku di dalam kamar.
Aku memunguti bagian Handphoneku yang berserakan di lantai. Malam itu adalah
malam yang paling dingin bagiku. Paginya, aku mendapat masalah dari
teman-temanku. Nilai raportku A+ padahal, nilai mata pelajaranku rata-rata C.
semua memprotesku, mereka bilang aku curang karena ayahku adalah kaur
kesiswaan. Di sisi lain, teman-teman e-mailku meminta informasi yang tak
mungkin ku dapatkan. Aku frustasi. Siangnya, aku berlari menuju TOKYO TOWER. Ku
panjat tower itu hingga enam meter. Aku tak tau apa yang harus ku perbuat. Aku
frustasi, aku benar-benar sangat frustasi. Aku terus menunggu telepon yang tak
kunjung datang, gagal ujian masuk SMP dan SMU. Aku juga tak bisa memenuhi
harapan ayahku yang keras. Itulah sebabnya, aku rasa aku memang layak dibenci.
Orang tak memiliki perasaan sepertiku, memang tak pantas disukai orang walau
hanya seorang saja. Tapi, bagaimana pun aku mencoba tegar. Aku selalu merasa
kesepian dan pilu. Aku tak merasa hidup dimana pun aku berada. Aku berusaha
melepas hatiku untuk masa depanku. Tapi, itu percuma. Tak akan ada yang
mengerti keresahan hati ini. Aku mendengar Sayo berteriak di belakangku. Tapi,
terlambat. Tekad ku sudah bulat. Ku lepaskan peganganku pada besi TOKYO TOWER.
Sayo mencengkeram tanganku dan berkata sambil menangis, “Kau tak boleh
menyerah! Masih ada orang yang menyayangimu! Kau tak berdusta! Cobalah maafkan
dirimu sendiri!”.
Apakah aku salah melakukan ini selama ini?
Aku tak tau apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin ayah menyayangiku
layaknya anak lainnya. Tanpa sadar, air mata mulai turun dari mataku. Aku
memang lemah, tapi Sayo lah yang membuatku jauh lebih kuat menghadapi semuanya
Sekarang, aku lebih bebas mengutarakan semuanya pada ayah dan ibuku. Mereka
kaget saat mengetahui aku pernah memotong nadiku. Aku memutuskan untuk pindah
ke sekolah system kredit.
Selama ini, aku tak bersemangat
karena merasa masa depanku tertutup rapat. Tapi, mulai sekarang, akan kucoba
untuk optimis mencari impianku. Mulai sekarang, aku takkan kesepian lagi.
Karena aku punya sahabat sejatiku, dialah Sayo. Sahabat, adalah harta yang tak
ternilai harganya. Aku mengerti itusekarang. Aku ingin terus bersama Sayo.
Tapi, aku harus pindah. Kehidupan baruku akan ku mulai dengan senyuman. Aku
juga ingin membantu orang seperti Sayo. Inilah kehidupan Harasawa Yoko yang
baru. Jimat keberuntungan Sayo, memang
ampuh ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan Saran aku tunggu... :)